Posts Tagged ‘Tuna rungu’

ABD vs Cochlea Implant

January 30, 2008

Keywords: ABD, cochlea implant / implan koklea / CI / operasi rumah siput, terapi mendengar / auditori verbal, TAV / AVT, intervensi dini, habilitasi, terapi wicara, kemampuan verbal, tuna rungu

Pilih pakai alat bantu dengar (ABD) atau operasi rumah siput (cochlea implant, CI)?
Tentu saja soal kualitas ada perbedaan antara ABD vs CI. Tapi dalam kenyataannya ada hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan untuk pilih ABD atau CI — bukan semata-mata soal beaya. Dan rasanya memang tidak perlu mempertentangkan keduanya.

Saya pernah lihat anak tunarungu yang menjalani operasi CI tapi kemampuan verbalnya minim. Sebaliknya juga pernah ketemu anak CI yang kemampuan verbalnya mendekati anak normal. Katanya juga ada anak ABD yang kemampuan verbalnya sangat bagus, bahkan bisa berkomunikasi via telepon. Tentu saja juga banyak anak ABD yang kemampuan verbalnya minim.

Sama-sama pakai ABD, kemampuan verbalnya beda. Sama-sama operasi CI, kemampuan verbalnya juga beda. Jadi tampaknya faktor utama penentu kemampuan verbal anak tuna rungu bukan pada alat yang dipakai (ABD vs CI). Hal inipun diakui oleh beberapa terapis TAV dan orang tua anak CI.

Faktor yang lebih menentukan adalah terapi-nya. Pada umur berapa mulai pakai ABD (atau menjalani operasi CI), dan langsung diikuti terapi mendengar (TAV) yang ulet. (Ada yang menggunakan istilah: intervensi dini dan habilitasi.)

Mengapa intervensi dini sangat penting? Karena, kata penelitian, usia optimal untuk perkembangan kemampuan audiologi seorang manusia ada batasnya, hanya kira-kira sampai usia 5-6 tahun — berbeda dengan kemampuan intelektual yang masih berkembang sampai usia dua puluhan (kan banyak orang kuliah).

Dan mengapa terapi/habilitasi sangat penting? Karena anak tunarungu (sejak lahir) sama sekali belum pernah mendengar. Kalaupun sekarang bisa mendengar (entah karena pakai ABD atau CI), bukan berarti ia langsung mengerti apa yang didengarnya. Ia harus dilatih untuk mengenali, membedakan dan memahami suara yang didengarnya, hingga selanjutnya bisa mengucapkannya — begitu prinsip dasar terapi mendengar. (Dan jika perlu dibantu terapi wicara untuk pengucapannya)

Jadi, pilih pakai ABD atau CI? Pilih terapi yang bagus! (by: papa Ellen)

Ke Halaman Depan

Terapi Mendengar vs Terapi Wicara

January 28, 2008

Keywords: terapi mendengar, terapi wicara, tuna rungu, auditori verbal, TAV / AVT

Sejauh ini kami mendapatkan banyak manfaat dari kombinasi terapi mendengar (untuk memasok kosa kata supaya si anak ngerti suatu kata) dan terapi wicara (untuk membantu pengucapan yang benar).

Berkat terapi mendengar (auditori verbal, TAV) Ellen bisa membedakan kata “papa” dan “mama” yang ia dengar tanpa melihat gerak bibir kami. Jika kami tanya “Mana papa?” atau “Mana mama?” ia bisa menjawab dengan benar (dengan menunjuk sambil mengucapkan papa/mama). Tapi pengucapannya belum jelas, kata “papa” ia ucapkan mirip “mama”.

Oleh terapis wicara (saat itu masih terapi di suatu RS di Jakbar) Ellen dibantu membedakan pengucapan “papa” dengan “mama”. Entah bagaimana teknik terapinya, tapi hasil pengucapannya bisa dicek yaitu dengan pegang hidung dan rasakan perbedaan getarannya (silakan coba!). Di rumah kami praktekkan pengecekan tsb (Ellen juga suka mempraktekkannya sendiri) beberapa kali. Alhasil Ellen sudah bisa mengucapkan “papa” dengan benar.

Contoh lain, ketika saya tanya Ellen, “Mama mana?”, dia lihat sekeliling sekilas, kalau tidak terlihat mamanya sering ia ikut tanya “Mama mama?” — maksudnya “Mama mana?” tapi yang keluar kata “mana” mirip pengucapan kata “mama”.

Oleh terapis wicara di sekolah, entah dengan teknik wicara bagaimana (tapi hasil pengucapannya bisa dicek dengan sentuh bagian bawah dagu dekat leher), sekarang Ellen bisa bedakan pengucapan kedua kata tsb. Kadang ia masih keceplos mengucapkan “Mama mama?” tapi segera diralatnya sendiri, “Mama maNA?”.
(ditulis oleh papa Ellen berdasarkan penanganan Ellen dengan peran besar sang mama)

Akan sangat bermanfaat jika ada terapis wicara yang bergabung dan berbagi ilmunya

Ke Halaman Depan

Koordinasi Peran Orang Tua dan Sekolah dalam Proses Belajar Anak Tuna Rungu

November 23, 2007

Keywords: koordinasi, peran, orang tua, guru, sekolah, terapis, belajar, terapi wicara, auditori verbal, tuna rungu / tunarungu

Kendala Ellen

Peran guru

Tim PP

Teman

Orang tua

Memahami percakapan di kelas Memberi tahu orang tua materi harian, kalau bisa >1 hari sebelumnya (untuk mencari gambar yg sulit diperoleh)

• Menyiapkan Ellen sebelumnya• Mengulang lagi sesudahnya
Memahami instruksi guru Guru pendamping mengulang dengan bicara dekat telinga, volume normal, kalimat pendek, pointnya saja

jika belum mengerti:

• dengan gerakan tangan

• ditulis di buku catatan

Melatih di rumah sesuai catatan dari guru
Memahami pembicaraan teman

Berbicara secara biasa (bertatap muka)

jika blm mengerti:

dengan gerakan tangan

Mengajar Ellen menjawab pertanyaan/ mengucapkan sesuatu Berbicara dekat telingajika Ellen sulit mengucapkan:• dibantu dengan Ellen melihat gerakan mulut• ditulis di buku catatan

Melatih di rumah sesuai catatan dari guru
Pengucapan belum jelas Membetulkan pengucapan dgn teknik2 terapi wicara • Memberi masukan pada tim PP mengenai kata-kata baru yang sudah dimengerti Ellen, untuk dibetulkan pengucapannya• Membantu follow up dengan teknik auditori verbal
Keterbatasan vocab

Menguji pemahaman berdasarkan laporan berkala dari orang tua

• Memasok kosa kata2 baru dengan teknik auditori verbal, terutama yang sedang jadi materi di kelas

• Melaporkan pada tim PP secara berkala (mingguan)

Ke Halaman Depan

Komunikasi Sehari-hari Anak Tuna Rungu

November 22, 2007

Keywords: komunikasi, tuna rungu / tunarungu, berbicara, bercakap-cakap, gerak bibir, terapi

Dalam percakapan sehari-hari dengan kata-kata yang sudah dimengertiEllen, bukan ketika sedang terapi atau mengajarkan kata/kalimat baru (maksud “dimengerti”: Ellen sudah paham yang kita maksud, walaupun kadang ia bisa merespon dengan kata-kata dan kadang belum bisa):

kita berbicara secara normal
(sebagaimana bicara dengan semua orang lain)

Karena untuk itulah Ellen dimasukkan ke komunitas umum supaya sedikit demi sedikit belajar sampai suatu saat bisa mengejar ketertinggalannya.

Jadi kami minta pengertian dan kerjasama semua pihak yang terkait dengan kehidupan sehari-hari Ellen (keluarga, pengasuh, guru sekolah, terapis wicara, guru sekolah minggu, teman-teman, tetangga) untuk:

1. Tidak memandang Ellen sebagai anak yang khusus jadi tidak perlu mengajaknya berkomunikasi dengan cara khusus (memperlihatkan gerak bibir, berbicara keras/teriak, bahasa isyarat/gerakan tangan)

2. Memahami keterbatasan komunikasi Ellen karena usia mendengarnya yang baru 2 tahun sehingga belum banyak kosa kata (tetapi perkembangan intelektualnya biasa) dan berbicara secara normal sebagaimana kepada anak yang masih sangat kecil, sambil memberi ruang kepada Ellen untuk mengejar ketertinggalannya.

Point 1 terutama sangat berat. Sulit sekali mengubah paradigma dan persepsi kebanyakan orang terhadap anak tuna rungu: Bahwa anak tuna rungu tidak bisa mendengar, sehingga harus bicara berhadap-hadapan dengan perlihatkan gerak bibir, dengan suara keras/teriak, dengan bantuan isyarat/gerakan tangan.

Syukurlah anggota keluarga di rumah sudah sama pandangan dan menerapkannya. Kalangan lain mudah-mudahan bisa segera menyusul.

Ke Halaman Depan

Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu

November 21, 2007

Keywords: terapi mendengar / terapi dengar, auditory verbal therapy / terapi auditori verbal, auditory oral therapy, AVT / TAV, terapi wicara, implan koklea / cochlea implant, alat bantu dengar / ABD, komunikasi, tunarungu

Banyak yang mau ditulis, tapi masih repot sama si baby. Tapi kemarin harus nulis buat pihak sekolah si kakak, jelasin beberapa hal. Ini menyangkut komunikasi si kakak, Ellen (6 tahun), yang tuna rungu tapi kami masukkan sekolah umum. Sekaligus berbagi informasi di sini, kalau-kalau berguna. Tulisan terkait akan menyusul (silakan lihat di Recent Posts).

Prinsip Dasar Terapi Ellen
(Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara)

1. Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau gerakan mulut.

2. Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2 tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan visual dihilangkan.

3. Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan kata-kata baru).

4. Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras (berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.

5. Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil yang baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata yang kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut teknik auditory verbal. Ini yang kami terapkan…

6. Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan (terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagi–siang), pola ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis wicara di sekolah).

Catatan:
– Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea).
– Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar, dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar & gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya akan berkomunikasi secara verbal.(by: mama Ellen, edited by papa Ellen)

Ke Halaman Depan



Topik Tuna Rungu pindah ke http://tunarungu.wordpress.com